Tanggal 2 April diperingati sebagai World Autisme Awareness Day. Pada
kesempatan ini, perlu diketahui bahwa angka anak dengan gangguan
perkembangan ini terus meningkat tanpa dapat dielakkan. Seperti yang
dikemukakan Gaya
tri Pamoedji SE
., MHc
pendiri MPATI (Masyarakat Peduli Autis Indonesia), secara global
ditemukan prevalensi anak dengan autisme adalah 1 : 88. “Sementara di
Indonesia secara khusus memang belum ada data mengenai anak yang
terkena autisme,” ujarnya saat konferensi pers peluncuran Video Panduan
Pendidikan Autisme, pekan lalu (26/3).
Angka tersebut dikeluarkan oleh Centers of Disease Control and
Prevention (CDC) pada tahun 2008, sementara data yang baru dirilis CDC
beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa hingga tahun 2013,prevalensi
penyandang autisme di Amerika Serikat kini menjadi 1:50.
Data tersebut memang cukup mengagetkan mengingat autisme masih
dianggap sebagai gangguan perkembangan yang sulit untuk disembuhkan.
“Anggapan itu lah yang harus diluruskan karena anak-anakautis ini
sebenarnya bisa diperbaiki kondisinya dan mereka pun membutuhkan
interaksi serta komunikasi,” papar Gayatri.
Bukan Penyakit
Seperti yang disampaikan sebelumnya, selama ini orang berangggapan
bahwa autisme adalah penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Padahal,
Gayatri menegaskan bahwa autisme bukanlah penyakit. “Autismeitu gangguan
perkembangan yang sangat kompleks pada anak. Sering kali gejala
terlihat sebelum anak berusia tiga tahun,” paparnya. Dengan demikian,
sudah pasti bahwa austime tidak dapat menular.
Gangguan perkembangan ini, ia menambahkan, meliputi keterlambatan
berkomunikasi, kurangnya kemampuan dalam hal interaksi sosial, dan
secara perilaku mereka cenderung sulit untuk mengerti bahasa
tubuh. Lebih lanjut, seperti tertulis dalam buku 200 Pertanyaan dan
Jawaban Seputar Autisme yang ditulis oleh Gayatri, dituliskan bahwa
penyandang autis memiliki kecenderungan untuk menunjukkan
perilaku-perilaku berulang-ulang (repetitive), terbatas (restricted),
dan khas (stereotype).
Kemudian, penanganan terpadu untuk autisme, seperti yang juga
tercantum dalam buku tersebut, meliputi diagnosis akurat, pendidikan
yang tepat untuk mengajarkan anak berperilaku, serta dukungan yang kuat
dari orangtua, keluarga, serta lingkungan.
Perlu Terapi
Memperbaiki kondisi anak dengan autisme, lanjutnya, dapat dilakukan
dengan melatih kemampuan bicara dan kemampuan motoriknya. “Pertama
dilakukan adalah terapi perilaku. Tujuannya agar ia bisa duduk
patuh, mendengarkan dan menuruti petunjuk, serta mau mendengar. Kemudian
terapi okupasi yang bertujuan untuk melatih motorik kasar dan motorik
halusnya. Setelah itu baru terapi wicara. Semuanya harus dilakukan
berurutan,” papar ibu dari remaja penyandang autisme ini.
terima kasih infonya, sangat bermanfaat