Iklan-iklan pemanis buatan
mungkin ingin agar Anda percaya bahwa badan Anda akan ramping seperti
gitar setelah Anda rajin mengonsumsinya. Jangan percaya itu. Alih-alih
memiliki badan seperti gitar, badan Anda mungkin malah tambah gemuk
seperti drum!

Pemanis buatan memang berkalori
rendah atau bahkan tidak berkalori sama sekali (non-kalori). Secara
logika sederhana, hal itu berarti membuat mereka menjadi pengganti gula
yang baik. Anda tetap dapat mengonsumsi aneka makanan yang manis tanpa perlu khawatir kelebihan kalori. Pemanis buatan melindungi Anda dari kegemukan. Ternyata tidak.
Bukti
epidemiologi di Amerika Serikat, negara yang memelopori konsumsi
pemanis buatan, menunjukkan hal sebaliknya. Seiring dengan meluasnya
penggunaan pemanis buatan–seperti aspartam dalam Diet Coke dan sukralosa dalam Pepsi One–
persentase penduduk AS yang mengalami obesitas juga meningkat. Berbagai
penelitian eksperimental menunjukkan bahwa memang ada kaitan antara
pemanis buatan dan kenaikan berat badan.
Membingungkan otak
Pemanis bebas gula seperti sakarin, aspartam, siklamat, sukralosa, dan lainnya secara paradoks justru meningkatkan hasrat makan secara berlebihan dengan membingungkan otak.
Dengan
memonitor perubahan di otak, para ilmuwan telah menemukan bahwa otak
bereaksi secara berbeda terhadap pemanis buatan dan gula pasir. Setelah
mengonsumsi pemanis buatan, otak manusia akan menafsirkan rasa manis
secara berbeda, menyebabkan reaksi yang juga berbeda.
Erin Green dan Claire Murphy dari University of California, San Diego dan San Diego State University
merekrut 24 orang dewasa muda yang sehat untuk tes pemindaian otak.
Setengah relawan secara teratur mengonsumsi soda diet, paling tidak
sekali sehari. Setengah lainnya jarang atau tidak pernah mengonsumsi
minuman tersebut. Sementara pemindaian otak dilakukan, para peneliti
memasukkan sedikit air berpemanis sakarin atau gula (sukrosa) secara
acak ke dalam mulut setiap relawan.
Baik peminum maupun
non-peminum soda diet sama-sama melaporkan rasa manis yang menyenangkan
dan intens. Namun, daerah otak yang berpendar saat mereka memberikan
penilaian sangat berbeda, tergantung apakah mereka peminum atau bukan.
Otak
biasanya mengaitkan rasa manis dengan kadar kalori untuk membantu
mengatur asupan energi. Ketika kita berpuasa, misalnya, otak akan
memotivasi kita untuk berbuka dengan yang manis-manis karena memiliki
kalori yang diperlukan tubuh. Dalam kasus soda diet, ternyata rasa manis
tidak terkait dengan kalori. Hal ini membuat otak bingung dan merasa
“tertipu”. Setelah tertipu, sensor manis otak tidak lagi dijadikan alat
ukur yang dapat diandalkan untuk mengatur konsumsi energi. Otak akan
mengabaikan rasa manis dalam memprediksi kandungan energi dari makanan.
Asupan kalori berlebihan
Pengabaian
otak ini, yang terjadi pada peminum soda diet, memiliki korelasi
langsung dengan peningkatan risiko obesitas. Setelah terbiasa
mengonsumsi pemanis buatan, otak tidak lagi mengaktifkan reseptor manis.
Anda dapat mengonsumsi makanan
yang manis (bahkan yang berkalori tinggi) dalam jumlah banyak, tanpa
ada perintah otak untuk berhenti karena kebanyakan kalori. Selain itu,
pemanis buatan membingungkan kemampuan otak untuk mengambil kalori atau
energi darinya, menyebabkan Anda untuk tetap terus mengonsumsinya
melampui ambang kenyang. Konsumsi makanan dan minuman secara berlebihan inilah yang berkontribusi terhadap kenaikan berat badan.
Temuan
ini menguatkan kesimpulan dari penelitian sebelumnya pada hewan. Tikus
yang diberi suplemen sakarin secara signifikan mengalami pertambahan
berat badan dan lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang hanya diberi glukosa.
Terima kasih infonya, infonya sangat bermanfaat